Lompat ke isi utama

Berita

CALON TUNGGAL: Apakah Demokratis Dan/Atau Konstitusional?

CALON TUNGGAL: Apakah Demokratis Dan/Atau Konstitusional?
\n

GOWA - Dalam perlaksanaan Pilkada, Jumlah daerah paslon tunggal terjadi trend peningkatan. Pada Pilkada 2015, ada 3 daerah dengan paslon tunggal. Pilkada 2017, 9 daerah. Pilkada 2018, 15 daerah. Masing-masing periode bertambah sebanyak enam daerah. Pasca diterbitkannya Perppu No. 2 tahun 2020, perihal penundaan dan pelaksanaan Pilkada serentak, tidak menutup kemungkinan akan ada pemilihan calon tunggal lagi.

\n \n \n \n

Kemunculan Calon Tunggal menjadi perdebatan, Apakah kemunduran proses demokrasi, pemilihan pemimpin dengan “Keterpaksaan” karena tidak ada pasangan lain, monopoli satu pasangan tunggal, benalu demokrasi, dinamika demokrasi mati, melanggar hak, tidak ada kompetisi, demokrasi tidak sehat dan bahkan tidak konstitusional?

\n \n \n \n

Pedapat itu boleh saja dibenarkan atau partai politik menjadi sasaran kesalahan seandainya ruang untuk mengajukan Calon Kepala Daerah hanya berasal dari partai politik, seperti dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Tetapi untuk proses penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah juga sudah mengakomodasi calon perseorangan berdasarkan dukungan KTP dari  jumlah penduduk wajib pilih atau yang lebih dikenal dengan istilah Daftar Pemilih Tetap (DPT), (Vide Pasal 41 UU Pilkada).

\n \n \n \n

DEMOKRASI

\n \n \n \n

Pasal 18 ayat 4 UUD NRI 1945 menegaskan “Gubernur, Bupati, dan Wali Kota dipilih secara demokratis”. Itu artinya pemilihan dari tiga jabatan Pemerintahan Daerah (Pilkada) tersebut, berada dalam proses pemilihan yang menganut prinsip demokrasi.

\n \n \n \n

Makna harfiah demokrasi sendiri, yaitu pemerintahan (cratos) oleh rakyat (demos), bahwa kekuasaan berasal dari rakyat (the will of the people).

\n \n \n \n

Robert Dahl menandaskan lima kriteria demokrasi yakni (1) Partisipasi efektif; (2) Persamaan suara; (3) Pemahaman yang komprehensif; (4) Adanya agenda Pengawasan; (5) Pencakupan orang dewasa.(Robert A, Dahl, Perihal Demokrasi: Menjelajahi Teori dan Praktek Demokrasi Secara Singkat, diterjemahkan oleh Rahmat Zainuddin, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001. Hal 53)

\n \n \n \n

Sedangkan Joseph Schumpeter menyatakan bahwa demokrasi secara sederhana merupakan sebuah metode politik, sebuah mekanisme untuk memilih pemimpin politik. Warga negara diberikan kesempatan untuk memilih salah satu di antara pemimpin-pemimpin politik yang bersaing. Pada pemilihan berikutnya, warga negara dapat mengganti wakil yang mereka pilih sebelumnya. Kemampuan untuk memilih di antara pemimpin-pemimpin politik pada masa pemilihan inilah yang disebut dengan demokrasi”. (Joseph A. Schumpeter, Capitalsm, Sosialism, and Democracy, London – New York, This edition published in the Taylor & Francis e-Library, 2003.hal 260) (Fenomena Calon Tunggal, Studi kasus pada Pilkada 2018 di 16 Kabupaten/kota-Bawaslu RI Hal 72).

\n \n \n \n

Pada hakikatnya yang menjadi persoalan mendasar berdasarkan akar historisnya, terjadinya calon tunggal adalah disebabkan oleh ideologi atau dengan kata lain implementasi “paham demokrasi” ke dalam mekanisme pengisian jabatan public, in concreto Kepala Daerah.

\n \n \n \n

Dalam konteks demikian, paham demokrasi yang menjadi penyebab terjadinya calon tunggal, yakni dengan adanya pengadopsian sistem demokrasi liberal. Sistem demokrasi liberal memang pada kenyataan telah banyak dipraktikan di beberapa Negara.

\n \n \n \n

Terhadap kondisi negara kita, perwujudan demokrasi liberal juga tidak dapat dikatakan salah dalam prosedurnya, karena pengintegrasian keanekaragaman penduduk Indonesia melalui Partai Politik, dan memberikan hak pilih kepada warga negara  merupakan jawaban dari konsepsi demokrasi yang menempatkan partisipasi rakyat pemilih dalam pemerintahan.

\n \n \n \n

Selain itu, Adi Sutarwijono (Adi Sutarwijono. “Mengakui Calon Tunggal.” Jawa Post.  28 Juli 2015) juga mengemukakan kalau pada sesungguhnya demokrasi dengan rezim kompetisi, kendati dapat mengakomodasi sarana perwujudan daulat rakyat, tetapi model kompetisi demikian tidaklah mengitung, diantaranya: “Pertama, jika partai-partai politik sepakat mengajukan calon tunggal dalam Pilkada, dan pilihan itu sah. Kedua, ketakutan kalah sehingga tidak mengajukan calon. Karena kekalahan identik menanggung rugi tenaga, waktu, dan pasti materi, serta reputasi. Siapakah yang mau jadi tumbal? Ketiga, pemboikotan Pilkada oleh Partai-Partai Politik dengan tidak mengusung Pasangan Calon dan membiarkan calon lain tampil tunggal. Maka, Pilkada tidak bisa digelar dan kedaulatan rakyat gagal diwujudkan. Keempat, potensi transaksi di level elit partai untuk mengajukan calon boneka semata memenuhi prosedur dua pasang calon. Transaksi itu merupakan ”anak haram” pesta demokrasi yang niat awalnya untuk mewujudkan daulat rakyat.”

\n \n \n \n

Konsekuensi dengan terakomodirnya calon tunggal paling tidak manakala sebagai Calon Kepala Daerah, dengan langsung terpilih secara aklamasi, tidak melalui proses pemilihan (kompetisi), ada kecenderungan Partai Politik bersama dengan elit-elitnya melakukan “pemufakatan jahat”, bersama memilih calon tunggal kepala daerah karena otomatis terpilih, yang sebelumnya diikat akad bagi bagi hasil daerah kelak. Begitu pula menghindarkan ketidakpastian pemilihan kepala daerah bila partai politik tetap kukuh dengan akadnya hanya dengan mengajukan bersama satu calon kepala daerah, pemilihan praktis tertunda terus tanpa kepastian (mewajibkan minimal dua Pasangan Calon Kepala Daerah).

\n \n \n \n

KONSTITUSIONAL

\n \n \n \n

Pada akhirnya ketentuan yang mewajibkan minimal dua Pasangan Calon Kepala Daerah dinyatakan oleh MK, konstitusional bersyarat melalui Putusan Nomor: 100/PUU-XIII/2015, sehingga terakomodirlah calon tunggal disertai Peraturan Mahkamah Konstitusi RI dalam hal perselisihan hasil dengan calon tunggal yaitu PMK No. 2 Tahun 2015 jo PMK No. 7 Tahun 2017.

\n \n \n \n

Telah diatur pula dalam UU No.10 tahun 2016 mengenai calon tunggal ; Pasal 54C 

\n \n \n \n

(1) Pemilihan 1 (satu) pasangan calon dilaksanakan dalam hal memenuhi kondisi:

\n \n \n \n
    \n
  • a. setelah dilakukan penundaan dan sampai dengan berakhirnya masa perpanjangan pendaftaran, hanya terdapat 1 (satu) pasangan calon yang mendaftar dan berdasarkan hasil penelitian pasangan calon tersebut dinyatakan memenuhi syarat;
  • \n
  • b.Terdapat lebih dari 1 (satu) pasangan calon yang mendaftar dan berdasarkan hasil penelitian hanya terdapat 1 (satu) pasangan calon yang  dinyatakan memenuhi syarat dan setelah dilakukan penundaan sampai dengan berakhirnya masa pembukaan kembali pendaftaran tidak terdapat pasangan calon yang mendaftar atau pasangan calon yang mendaftar berdasarkan hasil penelitian dinyatakan tidak memenuhi syarat yang mengakibatkan hanya terdapat 1 (satu) pasangan calon; 
  • \n
  • c. Sejak penetapan pasangan calon sampai dengan saat dimulainya masa Kampanye terdapat pasangan calon yang berhalangan tetap, Partai Politik atau Gabungan Partai Politik tidak mengusulkan calon/pasangan calon pengganti atau calon/pasangan calon pengganti yang diusulkan dinyatakan tidak memenuhi syarat yang mengakibatkan hanya terdapat 1 (satu) pasangan calon; 
  • \n
  • d.Sejak dimulainya masa Kampanye sampai dengan hari pemungutan suara terdapat pasangan calon yang berhalangan tetap, Partai Politik atau Gabungan Partai Politik tidak mengusulkan calon/pasangan calon pengganti atau calon/pasangan calon pengganti yang diusulkan dinyatakan tidak memenuhi syarat yang mengakibatkan hanya terdapat 1 (satu) pasangan calon; atau 
  • \n
  • e.Terdapat pasangan calon yang dikenakan sanksi pembatalan sebagai peserta Pemilihan yang mengakibatkan hanya terdapat 1 (satu) pasangan calon.
  • \n
\n \n \n \n

(2) Pemilihan 1 (satu) pasangan calon dilaksanakan dengan menggunakan surat suara yang memuat 2 (dua) kolom yang terdiri atas 1 (satu) kolom yang memuat foto pasangan calon dan 1 (satu) kolom kosong yang tidak bergambar.

\n \n \n \n

(3) Pemberian suara dilakukan dengan cara mencoblos.

\n \n \n \n

Pasal 54D

\n \n \n \n

(1) KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota menetapkan pasangan calon terpilih pada Pemilihan 1 (satu) pasangan calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54C, jika mendapatkan suara lebih dari 50% (lima puluh) persen dari suara sah. 

\n \n \n \n

(2) Jika perolehan suara pasangan calon kurang dari sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pasangan calon yang kalah dalam Pemilihan boleh mencalonkan lagi dalam Pemilihan berikutnya. 

\n \n \n \n

(3) Pemilihan berikutnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diulang kembali pada tahun berikutnya atau dilaksanakan sesuai dengan jadwal yang dimuat dalam peraturan perundang- undangan.

\n \n \n \n

(4) Dalam hal belum ada pasangan calon terpilih terhadap hasil Pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), Pemerintah menugaskan penjabat Gubernur, penjabat Bupati, atau penjabat Walikota. 

\n \n \n \n

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Pemilihan 1 (satu) pasangan calon diatur dengan Peraturan KPU.

\n \n \n \n

Terakhir, Penulis Pengutip Jawaban Mahkamah Konstitusi Putusan Nomor 14/PUU-XVII/2019 Hal 72 : Pertama, Pemilihan Kepala Daerah yang hanya diikuti oleh satu pasangan calon haruslah ditempatkan sebagai upaya terakhir, semata-mata demi memenuhi hak konstitusional warga negara, setelah sebelumnya diusahakan dengan sungguh-sungguh untuk menemukan paling sedikit dua pasangan calon; Kedua, Pemilihan Kepala Daerah yang hanya diikuti oleh satu pasangan calon, manifestasi kontestasinya lebih tepat apabila dipadankan dengan plebisit yang meminta rakyat (pemilih) untuk menentukan pilihannya apakah “Setuju” atau “Tidak Setuju” dengan pasangan calon tersebut, bukan dengan Pasangan Calon Kotak Kosong, sebagaimana dikonstruksikan oleh Pemohon. Apabila ternyata suara rakyat lebih banyak memilih “Setuju” maka pasangan calon dimaksud ditetapkan sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih. Sebaliknya, apabila ternyata suara rakyat lebih banyak memilih “Tidak Setuju” maka dalam keadaan demikian pemilihan ditunda sampai Pemilihan Kepala Daerah serentak berikutnya. Penundaan demikian tidaklah bertentangan dengan konstitusi sebab pada dasarnya rakyatlah yang telah memutuskan penundaan itu melalui pemberian suara “Tidak Setuju” tersebut.  

\n \n \n \n

Oleh Saparuddin, S.H., M.H.

\n \n \n \n

Koordiv Hukum, Humas dan Datin

\n \n \n \n

 

\n