Lompat ke isi utama

Berita

Kerawanan Pilkada Di Masa Pandemi

Kerawanan Pilkada Di Masa Pandemi
\n

GOWA - Pemungutan suara Pemilihan Kepala daerah yang semulanya dijadwalkan akan digelar serentak pada 23 September 2020 kini tidak dapat dilaksanakan pasca terbitnya Perpu Nomor 2 Tahun 2020 yang mengundur pelaksanaan pilkada menjadi 9 Desember atau dilakukan penjadwalan kembali tahapan pilkada ketika pandemi Covid-19 sudah dinyatakan mulai dapat diatasi. Lalu,  pada 27 Mei dilakukan rapat dengar pendapat antara komisi II DPR RI, Kemendagril serta jajaran penyelenggara pemilu yang terdiri dari KPU, Bawaslu dan DKPP akhirnya menyepakati bahwa pemungutan suara untuk pilkada 2020 dilaksanakan pada 9 Desember dan tahapan lanjutan pilkada mulai akan dilaksanakan pada bulan juni 2020

\n \n \n \n

Melaksanakan pilkada ditengah pandemi akan menjadi tantangan tersendiri bagi penyelenggara pemilu. Kendala pelaksanaan bukan hanya pada  sisi teknis tetapi juga akan rawan pada aspek pengawasan. Pelaksaan pilkada di tengah pandemic covid-19 diduga akan berpotensi menyebabkan terjadinya pelanggaran yang massif. Potensi palnggaran yang berpotensi terjadi antara lain :

\n \n \n \n

Pertama, massifnya politik uang karena kerentanan masyarakat akibat krisis ekonomi. Gelombang PHK besar-besaran tidak dapat dihindari dimasa pandemi karena roda perputaran ekonomi melambat dan daya beli masyarakat menjadi sangat rendah. Kondisi ini dikhawatirkan akan memicu terjadi politik uang yang dilakukan oleh para kandidat karena memanfaatkan kebutuhan masyarakat di masa ekonomi yang sulit untuk melakukan jual beli suara. Politik uang yang massif dalam kontestasi demokrasi akan melemahkan integritas perhelatan demokrasi tersebut serta rawan menjadi pintu masuk korupsi para kandidat yang terpilih karena melakukan politik uang.

\n \n \n \n

Kedua,  Politisasi bantuan sosial. Potensi ini rawan digunakan oleh para kandidat  petahana. Adanya realokasi anggaran mulai dari pemeritah pusat dan daerah untuk penanganan Covid-19 beberapa diantara di konversi dalam bentuk bantuan langsung tunai ataupun paket sembako. Distribusi bantuan ini dapat berpotensi menjadi panggung citra diri bagi kandidat petahana selaku penanggung jawab terhadap pendistribusian bantuan-bantuan tersebut ditingkat daerah. Kandidat petahana yang mendapat lebih banyak panggung akan membuat kontestasi menjadi tidak berimbang sehingga asas keadilan dan kesetaraan dalam berdemokrasi tidak tercapai. 

\n \n \n \n

Ketiga, Netralitas ASN dan Birokasi pemerintah. Dimasa pandemi, netralitas aparat ini juga akan menjadi sangat rawan mulai ditingkat kabupaten/kota hingga ditingkat desa. Aparat ini akan rawan dimanfaatkan oleh para kandidat yang bertarung karena mereka yang langsung berhubungan dengan masyarakat. Memanfaatkan aparat ini dapat dilakukan ketika mereka menyalurkan berbagai bantuan ataupun untuk menekan lawan-lawan politik kandidat ketika akan mendapatkan akses bantuan. 

\n \n \n \n

Keempat, Tingkat partisipasi masyarakat. Kerawanan lain yang mungkin akan terjadi adalah rendahnya partisipasi bagi pemilih yang akan menyaluran hak pilihnya. Masyarakat menjadi khawatir untuk keluar rumah ketika pemungutan suara berlangsung karena khawatir terpapar Covid-19. Belum lagi masyarakat yang sedang mengalami kondisi isolasi tentu kesulitan juga untuk menyalurkan hak pilihya jika hingga pada 9 desember Covid-19 ini tidak segera berlalu 

\n \n \n \n


Bagaimana Pengawasan Bawaslu?

\n \n \n \n

Dengan dimulainya kembali tahapan, maka Bawaslu Kabupaten kini memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan dan penindakan pelanggaran serta penyelesaian sengketa. Dari aspek penanganan pelanggaran, Bawaslu akan menindak tegas setiap pelanggaran yang akan terjadi dalam setiap tahapan. Ketika KPU telah menetapkan peraturan KPU tekait jadwal dan tahapan penyelenggaraan pilkada maka penegakan terhadap penyalahgunaan jabatan untuk politisasi bantuan sosial serta netralitas birokrasi  memiliki legitimasi secara hukum. Ketetuan dalam pasal 71 Undang-undang nomor 10 Tahun 2016 tentang larangan mutasi serta penyalahgunaan kewenangan program dan anggaran akan menjadi fokus pengawasan bawaslu sehingga politisasai bantuan sosial dapat dicegah dan ditindak.
Selain itu bagi aparat yang tidak netral,  ada sanksi pidana sebagaimana mengacu pada ketentuan pasal 188 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016  terkait larangan melakukan tindakan menguntungkan dan merugikan terhadap calon tertentu sebagaimana mengacu pada ketentuan pasal 71.

\n \n \n \n

 Selain Pidana, Sanksi etik juga berlaku  bagi ASN. Bawaslu telah menjalin MOU dengan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN)  dalam penindakan pelanggaran disiplin ASN. Pelanggaran terhadap politik uang juga diatur sanksinya secara tegas karena baik pemberi maupun penerima akan mendapatkan sanksi pidana yang sama yakni pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah sebagaimana ketentuan dalam pasal 187A UU Nomor 10 tahun 2016. Olehnya itu, masyarakat yang terdampak covid -19 dan terdampak juga kebijakan tidak netral selama kontestasi pilkada dapat menyampaikan laporan pelanggaran kepada Bawaslu setempat.

\n \n \n \n

Penulis: Yusnaeni (Kordiv Penindakan Pelanggaran Bawaslu Kab. Gowa)

\n